Kithah Perjuangan HMI
Tinjauan Sejarah
Lemahnya sistem dokumentasi di HMI sering membuat generasi berikutnya kehilangan informasi tentang dinamika pemikiran yang terjadi di Himpunan. Akibatnya mereka bersikap a historis. Generasi seperti ini sangat mudah tersesat dan disesatkan. Kebenaran yang ada pada mereka hanyalah apa yang sedang mereka hadapi dan apa yang didengarnya dari senior-senior yang masih bisa ditemui. Senior-senior ini tidak dijamin steril dari kepentingan.
Contoh kongkrit lemahnya dokumen-tasi ini adalah kasus gugatan utusan HMI cabang Yogyakarta terhadap Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI di kongres ke-15 Medan. Kita tidak bisa menilai bobot kualitas gugatan tersebut. Apakah gugatan ini disertai konsep alternatif? Ataukah hanya gugatan sesaat seperti beberapa cabang terhadap Kithah Perjuangan HMI saat ini. Yang jelas Kongres ke-15 hanya merekomendasikan kepada Pengurus Besar terpilih untuk menyelenggarakan forum yang mengkaji ulang NDP. Tidak tertutup kemungkinan seandainya HMI tidak mengalami disintegrasi pada tahun 1986, makhluk yang bernama Kithah ini tidak akan pernah ada. Seperti kita ketahui forum yang diselenggarakan PB HMI untuk mengkaji NDP di Mataram tahun 1985 mengalami deadlock, bubar sebelum waktunya dan NDP yang digugat cabang Yogyakarta masih tetap eksis sampai sekarang.
NDP pada mulanya adalah kertas kerja Pengurus Besar HMI periode 1966-1969 dibawah kepemimpinan Nurholis Majid yang disajikan pada kongres di Solo. Menilai bobot NDP peserta kongres lalu menugaskan kepada pengurus besar berikutnya untuk membentuk tim yang bertugas menyempurnakan kertas kerja tersebut menjadi tafsir azas HMI. Tim ini terdiri dari tiga orang yaitu Endang Saepudin Ansyari, Sakip Mahmud dan Nurholis Majid. Persoalan teknis menghambat kerja tim ini sehingga NDP akhirnya didominasi pemikiran Nurholis sehingga NDP sering diangggap sebagai karya Nurholis majid pribadi. Sebelum NDP, HMI telah memiliki tafsir azas yang disebut Garis Besar Pokok-Pokok Perjuangan (GBPP). Dokumen ini lebih banyak berisi sejarah dan peran HMI dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. GPP menjadi dokumen penting HMI yang dikaji secara serius di semua pelatihan. Barangkali karena bahasa dan isi GPP dikemas sangat baik, GPP menjadi dokumen yang populer di kalangan anggota HMI.
Selain tafsir azas, pasal tujuan dan pasal independensi di tafsirkan dalam risalah terpisah dan datang belakangan. Ketiga tafsir ini selanjutnya menjadi materi pokok perkaderan di HMI.
Setelah gagal di kongres Medan, HMI cabang Yogyakarta membentuk Tim perumus konsep alternatif. Tim ini akhirnya berhasil merumuskan tafsir integral yang kemudian diberi nama Kithah Perjuangan HMI. Dikatakan integral karena tafsir azas, tujuan dan independensi yang semula terpisah dirumuskan dalam satu risalah.
Seperti kita ketahui tahun 1986 HMI pecah menjadi dua, Kelompok yang tetap istiqomah dengan azas Islam dikenal dengan nama HMI MPO (majelis Penyelamat Organisasi) sedang kelompok HMI yang menerima desakan pemerintah menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal dikenal dengan sebutan HMI Dipo (sekertariatnya berada di jl. Diponegoro Jakarta). HMI MPO pada kongresnya yang ke-16 menetapkan Kithah Perjuangan sebagai dokumen resmi organisasi, sedang HMI Pancasila mengubah nama NDP menjadi NIK (Nilai Identitas Kader) dan menggeser fungsinya yang semula sebagai tafsir azas menjadi tafsir identitas (pasal baru) tanpa mengubah sedikit pun isinya. Pasal azas Pancasila dijelaskan dalam risalah tersendiri yang disebut Memorandum Penjelasan Penerimaan Pancasila.
Entah karena penetapan Kithah Perjuangan dilakukan dalam kondisi darurat dan didesak secara politis untuk berbeda dengan HMI Dipo, semua cabang yang berafiliasi ke MPO menerima secara bulat Kithah Perjuangan HMI tanpa mengkaji isinya. Tatapi dua tahun kemudian pada kongres ke 17 di Yogyakarta terjadi perbincangan hangat yang menghasilkan rekomendasi untuk menyusun buku hijau berisi penyempurnaan rumusan Kithah Perjuangan HMI. Rekomendasi serupa juga muncul pada kongres berikutnya di Bogor. Menarik untuk diteliti apakah rekomendasi-rekomendasi ini berangkat dari ketidakpuasan material Khitah atau hanya sekedar persoalan politis dan kecemburuan kecabangan mengingat rumusan Kithah berasal dari cabang Yogyakarta, dan waktu itu primordialisme kecabangan sangat kental. Persaingan terutama terjadi antar cabang-cabang besar.
Terlepas dari persoalan politis, gugatan-gugatan yang beruntun dan dilakukan dalam usia Kithah yang relatif masih muda mengisyaratkan adanya kelemahan konsep yang dikandung kithah Perjuangan HMI. Hal ini mendorong Pengurus Besar periode 1990-1992 menyelenggarakan Lokakarya Penyempurnaan Kithah Perjuangan di Yogyakarta tahun 1992. Seperti sudah diduga sebelumnya Lokakarya gagal merumuskan konsep baru dan menyerahkan penyelesaiannya kepada Tim perumus. Hasil satu-satunya dari Lokakarya ini adalah secara politis kedudukan Kithah menjadi semakin kuat karena semua cabang diberi kesempatan untuk turut serta menyusunnya, meski kalau kita teliti dari 5 orang anggota tim perumus tiga diantaranya dari Yogyakarta. Dua orang lainnya yaitu dari Ujungpandang dan jakarta tidak aktif. Tidak pernah ada yang menelusuri apakah hasil kerja Tim ini sesuai dengan pemikiran yang berkembang di Lokakarya ataukah hanya presentasi dari pemikiran para perumusnya?.
Dari uraian di atas, nampak bahwa Kithah bukanlah risalah yang lahir tanpa didahului risalah-risalah sebelumnya. Adalah sangat ahistoris jika HMI MPO tidak mengakui NDP sebagai bagian dari sejarahnya. Ini tidak berarti NDP harus dilaksanakan bersama-sama dengan Kithah tetapi tempatkanlah NDP sebagai khasanah perbincangan intelektual secara adil dan proposional.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar