MEMBANGUN MASYARAKAT INDONESIA MENUJU MASYARAKAT MADANI
Oleh: Muhammad Subhi
Gambaran Masyarakat Indonesia
Indonesia merupakan suatu Negara dengan jumblah penduduk banyak dan masyarakat mayoritas memeluk agama islam. Dengan realita tersebut dapat disimpiulkan bahwa seharusnya masyarakat Indonesia menjadi masyarakat islam dengan gaya hidup bercorak islam yang tercipta oleh syariat yang sesuai ajaran islam. Pada saat ini masyarakat Indonesia lebih cenderung kelihatan tidak beda dengan masyarakat barat, yang lebih suka dengan budaya baratnya sehingga dengan sengaja atau tidak sengaja tuntutan islam dicampakan. Kalau masyarakat Indonesia terus menerus eksistensinya seperti itu tidak lama dengan serta merta kekuatan muslimnya menghilang, hancur dan terkubur maka tinggal dalam belenggu kehinaan yang ada.
Tidak hanya dari sisi masyarakatnya saja yang mengikuti budaya barat, tetapi system yang diterapkan dalam pemerintahan juga dipengaruhi oleh pemikir barat. Dalam istilah pemikiran barat jika pemerintahan diserahkan kepada seseorang disebut dengan pemerintahan monarki. Bila diserahkan kepada sekelompok orang disebut aristokrasi. Sedangkan bila diserahkan kepada banyak orang atau rakyat disebut dengan demokrasi.
Gambaran Demokrasi Indonesia
Negara Indonesia pada sekarang ini menganut system demokrasi. System demokrasi dianggap paling adil dan rasional, karena dalam mengelola negara melibatkan seluruh rakyat. Berbeda dengan bentuk monarki dan aristokrasi yang sangat mungkin melakukan kedzaliman kepada rakyatnya, maka persoalan seperti itu bisa dicegah dalam kehidupan demokrasi. Karena dalam demokrasi kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat, bagaimana mungkin rakyat akan mendzalimi dirinya sendiri. Namun demikian, fakta menunjukkan lain.
Menurut Rokhmat S. Labib dalam demokrasi ternyata belum bisa menghindarkan diri dari bentuk-bentuk penindasan pada rakyat. Ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, sebenarnya pelibatan rakyat dalam pemerintahan hanya terjadi pada saat pemilu. Semua partai politik bertarung untuk memperebutkan suara rakyat agar memilihnya. Caranya dengan mengobral janji akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Setelah pemilu, tidak lagi terjadi hubungan partai politik dengan rakyat pemilih. Tidak pula terjadi mekanisme kontrol antara rakyat pemilih dengan parpol. Sehingga parpol dalam rangka untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan bisa dengan mudah mengubah program-program yang disodorkan kepada masyarakat. Demikian juga ketika kekuasaan sudah di dapat rakyat tidak dilibatkan dalam mengelola negara. Rakyat kembali dirayu manakala musim pemilu tiba. Janji-janji memperjuangkan aspirasi kembali diobral dalam panggung kampanye. Kedua, dalam demokrasi sangat memungkinkan terjadinya bentuk dominasi mayoritas atas minoritas. Karena dalam demokrasi yang diperhatikan adalah jumlah suara, tentu saja dalam setiap pembuatan perundangan dan kebijakan akan dimenangkan oleh suara mayoritas. Hal ini sangat memungkinkan terjadinya penindasan mayoritas atas minoritas. Kemungkinan ini semakin terbuka lebar karena kekuasaan secara pasti dipegang oleh mayoritas.
Untuk menutup aspek negatif demokrasi itu, maka diperlukan sebuah mekanisme kontrol yang amat kuat dari masyarakat. Agar memiliki kekuatan yang cukup, maka kontrol itu harus dilakukan oleh lembaga-lembaga otonom sebagai perimbangan pada kekuasaan negara. Dalam konteks ini berarti harus selalu ada lembaga atau individu yang berhadapan dengan kekuasaan negara. Kekuatan inilah yang disebut dengan oposisi. Kelompok oposisi ini dianggap sebagai rakyat yang diperintah atau kekuatan sipil. Rakyat harus diberi kebebasan untuk mengartikulasikan gagasan dan aspirasinya, tanpa mendapatkan tekanan dan dominasi negara. Konsep penataan masyarakat seperti inilah yang disebut dengan masyarakat madani
Gambaran Masyarakat MadaniSudah menjadi kewajiban kita semua untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama bangsa kita untuk mewujudkan masyrakat berperadaban, masyarakat madani, civil society, dinegara kita tercinta, Republik Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani juga bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Sebenarnya tema tentang masyarakat madani mulai memudar dari wacana publik. Pada hal, perbincangan tentang masyarakat madani pernah menghangat seiring dengan perjalanan reformasi di Indonesia. Rezim suharto yang korup dan otoriter telah mengantarkan kesimpulan pentingnya membentuk masyarakat madani.
Nasib istilah masyarakat madani ini pun hampir sama dengan istilah reformasi itu sendiri. Setiap orang meneriakkan reformasi. Semua tokoh ingin menyandang gelar reformis. Kelompok dan partai politik tak ada yang mau dijuluki pro-status quo. Mereka semua mengatakan sebagai pejuang reformasi. Tetapi sayang sekali, hanya sedikit orang yang mengucapkannya mengerti hakikat sebenarnya tentang makna reformasi. Ini terjadi karena kata reformasi begitu bias, sehingga setiap orang bisa dan berhak menafsirkan makna reformasi sendiri-sendiri. Fakta seperti ini benar-benar dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang menguasai jaringan ekonomi dan media massa. Dengan media tersebut, kelompok ini mampu menggiring opini publik untuk menyetujui, bahwa merekalah kelompok pejuang reformasi. Fakta akhirnya juga menunjukkan, bahwa opini masyarakat pada akhirnya menyetujui opini menyesatkan tersebut, meskipun sebenarnya kelompok yang dicap reformis tersebut sama sekali tidak membawa masyarakat menuju perubahan yang lebih baik, kecuali hanya perubahan figur, yang bisa jadi lebih brengsek daripada yang digusur.
Demikian pula istilah masyarakat madani. Istilah ini banyak disebut sebagai sebuah konsep masyarakat yang dicita-citakan. Sama dengan reformasi makna masyarakat madani begitu bias, sehingga masing-masing orang dan kelompok bisa memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang maksud dari kata masyarakat madani tersebut. Juga amat disayangkan, kendati gambaran masyarakat madani ini masih bias, kabur dan samar tak sedikit yang menolak konsep tersebut.
Menurut Nur Cholish madjid pembentukan masyarakat peradaban atau masyarakat madani yang pada saat itu di lakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Setelah beliau belasan tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan, Allah memberikan petunjuk untuk hijrak ke Yastrib, kota wahah atau oase yang subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di Yastrib, setelah perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala'a al-badru 'alaina (Bulan Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah mapan dalam kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi).
Secara konvensional, perkataan "madinah" memang diartikan sebagai "kota". Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna "peradaban". Dalam bahasa Arab, "peradaban" memang dinyatakan dalam kata-kata "madaniyah" atau "tamaddun", selain dalam kata-kata "hadharah". Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab.
Tak lama setelah menetap di Madinah itulah, Nabi bersama semua penduduk Madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Dan di Madinah itu pula, sebagai pembelaan terhadap masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban.
Membangun masyarakat peradaban itulah yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun di Madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-NYA. Taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam peristilahan Kitab Suci juga disebut semangat Rabbaniyah (QS Alu Imran:79) atau ribbiyah (QS Alu Imran:146). Inilah hablun mim Allah, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista.
Semangat Rabbaniyah atau ribbiyah itu, jika cukup tulus dan sejati, akan memancar dalam semangat perikemanusiaan, yaitu semangat insaniyah, atau basyariyah, dimensi horisontal hidup manusia, hablun min al-nas. Kemudian pada urutannya, semangat perikemanusiian itu sendiri memancar dalam berbagai bentuk hubungan pergaulan manusia yang penuh budi luhur. Maka tak heran jika Nabi dalam sebuah hadisnya menegaskan bahwa inti sari tugas suci beliau adalah untuk "menyempurnakan berbagai keluhuran budi"..Masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia itulah, masyarakat madani.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar