Oleh : Lukman Wibowo
Alkisah, Sabtu (9 Agustus 2008) kemarin, Korp Pengader HMI Cabang Semarang (baca: KPC) menyelenggarakan Diskusi yang bertema: Reinterpretasi Insan Ulil Albab untuk Menghadapi Dasawarsa Ke-Dua Era Millennium. Secara eksplisit tema tersebut bisa dikata, kurang “mempesona”. Pemaknaan kembali ulil albab adalah pengulangan yang basi, usang dan cenderung klasikal. Namun jika sosok yang dimaksud lalu dipersinggungkan dengan zaman millennium khususnya di sepuluh tahun kedua, maka akan lain ceritanya, bahkan boleh jadi pembahasannya bakal menarik. Sebab, di dasawarsa kedua (per tahun 2010 - 2020), Indonesia mulai menghadapi geo-ekopolitik baru, yaitu pemberlakukan rezim AFTA (Asian Free Trade Area) di bawah kekuatan neoliberalisme. Namun berhubung kaitan antara AFTA dengan Insan Ulil Albab telah dibahas dalam artikel tersendiri, maka penulis merasa tak perlu menguraikannya kembali disini. Selebihnya, kita akan coba mengeksplanasikan mengenai implikasi Millennium dalam proses perkaderan HMI.
Dalam artikel ini, penulis juga merasa tak perlu berpanjang-lebar terkait interpretasi ulil albab; selain sebab memang kajiannya melulu bersifat normatif, seharusnya konudrum (teka-teki) pengejawantahannya disesuaikan dengan situasi temporal dan spasial yang tepat. Pasalnya, bukankah zaman senantiasa berubah?
Pesan Liberalistik dalam Kapitalisme Millennium
Millennium adalah sebuah branding yang dipopulerkan tanpa semantik yang filosofis amat. Disini, penulis bersepakat dengan Roland Barthes tentang kritik terjadinya “anarkisme semiotika” dalam kehidupan sehari-hari. Nama perusahaan ABC dan stasiun televisi TPI adalah dua contoh dari “ketakhirauan” terhadap kaidah bahasa. Kenapa? Sebab “ABC” dan “TPI” bukanlah singkatan huruf, juga tidak mempunyai kepanjangan kata. Lain lagi dengan cerita Romo Alloy; beliau pernah terkaget-kaget saat mendengar anak tetangganya yang muslim dinamai Andreas, dan orang nasrani menamai anaknya Taufiqurrahman. Di saat yang sama, kita pun dibuat bingung, manakala semantik “islah” dicampur aduk dengan istilah “rekonsiliasi”.
Dimulainya era millennium-III ditandai oleh tahun berstatus angka 2000. Istilah “millennium” akan lebih mudah ditemukan dalam kamus-kamus teknologi, kendati sesungguhnya, millennium dapat pula dibahas dalam dimensi kebudayaan, maupun dimensi-dimensi yang lain. Sebagai cetusan branding, millennium ibarat “stempel waktu” dari suatu babak sejarah yang mesti dilalui. Kita tentu masih ingat, ketika Uni Soviet runtuh dan Perang Teluk berakhir dengan kemenangan Amerika dan sekutunya, George Bush menyebut era ini dengan slogan “tata dunia baru”.
Masalahnya: sejarah yang sedang berjalan ini “milik” siapa? Atau sedang dikendalikan oleh apa dan siapa?
Baik millennium maupun tata dunia baru (the new rule game) merupakan sebuah cap--dengan alih-alih kemajuan zaman--dari kedok ideologi yang masyur dengan sebutan Kapitalisme Global.
Penting diingatkan kembali, bahwa Kapitalisme sudah tak dapat dimaknai secara sempit lagi; sebatas berlaku dalam analisis perekonomian. Kapitalisme mengalami perluasan hegemoni yang merangsek masuk ke seluruh wilayah, termasuk ke sektor moral kebudayaan dan kedirian manusia modern.
Singkatnya, satu-dua dekade terakhir ini kapitalisme menancapkan pancangnya pada tiga ranah: politik (dengan “menunggangi” demokrasi), ekonomi (gerakan globalisasi melalui Pasar Bebas), dan sosial budaya (pemikiran liberal).
Dalam pada ini, kita tidak menfokuskan pengkajian pada dua hal pertama (demokrasi dan globalisasi), namun lebih mengupas hubungan pemikiran liberal dalam konteks perkaderan HMI.
Kader HMI; dari Jibril menjadi Gay
Baru-baru ini, penulis terkejut mendengar kabar bahwa seorang teman sejawat--sebut saja nama inisialnya Rio, mantan Ketua Umum HMI di satu komisariat, serta telah lulus mengikuti SC (senior course)--kini menjadi seorang gay, bahkan ia sebagai koordinatornya di kota tempat ia tinggal. Saya miris ketika melihatnya tampil di sejumlah stasiun televisi dan media cetak, untuk suatu “pengakuan” yang dianggapnya asasi dan prinsipil.
Berkisar dua tahun sebelum itu, saya juga pernah dibuat tegun oleh berita Lia Eden (Lia Aminuddin) yang mendirikan aliran baru dan mengklaim dirinya sebagai utusan Jibril. Tertegun, lantaran Lia Aminuddin adalah alumni HMI.
Untuk sekadar “mengobati” perasaan dan membangun netralitas pikiran, lalu saya berupaya melihatnya dari dua sisi; positif dan negatif.
Sisi positifnya, kader-kader HMI setidaknya telah melakukan dua hal: pertama, mereka berhasil menjadi pemimpin (leadership), dan kedua, mereka selalu konsisten membela kelompok-kelompok yang terpinggirkan (marginal). Dalam konteks sanggup menjadi pimpinan dan berani membela yang marginal, ada rasa bangga saya kepada mereka. Artinya, khittah kepemimpinan dan pemihak kaum tertindas, mencapai implikasi titik “sempurna” dalam kedirian kader HMI.
Hanya persoalannya kemudian; memimpin apa dan siapa, lalu apa dan siapa yang tertindas?
Berikutnya, persoalan yang paling rumit adalah: konsistensi membela pihak tertindas, sewaktu-waktu bisa berbalik menjadi “inkonsistensi”. Kenapa? Karena kemungkinan terjadinya siklus maupun pergantian posisi antara sang penindas dengan yang tertindas.
Contohnya, ketika Orde Baru menindas kebebasan ideologis atas nama Pancasila. Saat itu, HMI menolak Pancasilaisasi. Tapi sekarang HMI justeru mendukung Pancasila. Sebab apa? Sebab di era kebebasan politik (reformasi) ini, nilai-nilai Pancasila sedang dihantam krisis dan mulai dilupakan orang. Itulah yang dimaksud “konsistensi melahirkan inkonsistensi” membela yang tertindas.
Kembali ke soal Rio dan Lia Aminuddin. Seperti umumnya kader yang dibesarkan di HMI, Rio dan Lia tumbuh dalam suasana perkaderan yang menekankan pada kebebasan berpikir. Saya juga termasuk kader yang sangat setuju dengan style perkaderan berbasis kesadaran rasional; bukan dengan “pemaksaan” harus begini harus begitu. Ekstrimnya, saya memberontak dari dogma yang kaku serta baku di HMI. Pada pilihan sikap, menurut saya, sejogianya memang tidak perlu ada “hukum kemustian”.
Nurcholis Madjid benar, bahwa nilai (values) tak boleh berubah sepanjang massa, tetapi implementasi nilai (action) dapat berubah-ubah sesuai kadar kondisional. Satu perumpamaan teknisnya, saya tidak sependapat bila kader-kader “diharamkan” pacaran, berpolitik praktis, berinisiasi melakukan rekonsiliasi HMI, dan lain sebagainya. Ini bukan berarti saya mendukung mereka yang berpacaran, merekonsiliasi HMI, atau berpolitik-ria, namun memberikan wawasan dan menggiatkan kesadaran integral kader dalam proses perkaderan HMI, adalah jauh lebih penting.
Orang-orang di Yunani Kuno pernah mengingatkan bahwa kearifan hidup merupakan point tertinggi di hadapan semesta. Untuk mencapai level berkearifan (wisdom), ada tiga level sebelumnya yang harus ditempuh yakni; data (mengumpulkan apa yang kita baca dan dengar), informasi fakta (mengumpulkan apa yang kita baca dan lihat), dan level knowledge (mengumpulkan apa yang kita baca secara universal). Jadi, negasi Al-Qur'an tentang “teori Iqro” (membaca seluruh apa yang mampu dijangkau) adalah sejalan dengan rumus membangun kesadaran kaffah manusia (kekaderan).
Terkait dengan pacaran atau berpolitik misalnya, kader selayaknya diarahkan untuk memperoleh data, informasi, dan knowledge yang seluas-luasnya. Sehingga kelak kader-kader HMI mampu mempertimbangkan sendiri manfaat dan mudhorot dari sesuatu hal. Jika kalkulasi sesuatu lebih banyak mudhorotnya, itu patut ditinggalkan, dan sebaliknya, kalau sesuatu tersebut cenderung bermanfaat, itu pantas diambil. Mengarahkan kader untuk dapat mempertimbangkan sendiri sesuatu berdasarkan kesadaran rasional, itu lebih bermartabat ketimbang “pemaksaan”. Inilah yang dimaksud dengan membangun kearifan di HMI.
Lantas, apakah dengan demikian, di HMI tidak perlu ada penanaman doktrin, dogma, dan penerapan hukum kemustian? Jelas perlu ada. Namun jika kerja-kerja indoktrinasi terlalu masuk ke wilayah yang amat praksis dan operasional, itu akan berbahaya bagi berkecambahnya intelektualitas maupun wisdom dalam perkaderan HMI.
* * *
Kesepakatan kita tentang pentingnya suasana berpikir bebas dalam perkaderan HMI, tidak bisa begitu saja dianggap sebagai satu konklusi (kesimpulan) bahwa kita setuju dengan liberalistik di segala hal. Kebebasan berpikir ditujukan untuk dua hal: pertama, memecah kebekuan doktrinal yang masuk ke ranah teknis maupun operasional aktifitas perkaderan, dan kedua, untuk membangun kesadaran bertindak yang positif di dalam diri kader HMI. Jadi, akan menyesatkan andai kultur kebebasan berpikir diarahkan menjadi bentuk liberalisasi dan sikap “gue banget”--sebagaimana yang dikehendaki oleh sistem kapitalisme global.
Rio dan Lia Aminuddin merupakan kasus yang masing-masing berdiri sendiri. Pada eksistensi ruang dan waktu, keduanya tidak saling berhubungan. Tetapi dalam konteks perkaderan kasus tersebut tak bisa dipisahkan kesistemannya.
Sejauh saya mengenal Rio, kemungkinan yang dibangun dalam dirinya adalah anti-tesa terhadap tesa perkaderan dan lingkungannya. Perkara bahwa Rio mengidap “kelainan” seksual, itupun menjadi perkara tersendiri yang belum pernah digubris di HMI. Sifat Rio yang feminine sebagai individu pribadi, dan karakter pemberontak sebagai individu HMI, menemukan momen yang tepat untuk bersikap, di saat maraknya suara “demokrasi kaum gay”.
Menurut hemat saya, setidaknya ada tiga masalah yang lebih dahulu lahir sebelumnya: pertama, indikasi gejala homoseks Rio tidak teridentifikasi pra dan saat aktif di HMI. Mengingat pengakuan Rio di media bahwa dirinya sudah merasa suka pada sesama jenis sejak waktu SMA. Kedua, keterbukaan personal--untuk berbagi cerita, curhat pribadi, maupun berkeluh kesah soal-soal yang sensitif dalam suasana kekeluargaan HMI--nyaris tidak ada. Kader (baik pengurus maupun anggota) HMI terdesak untuk selalu sibuk mengurusi orang lain (baca: ummat). Sehingga kerja-kerja untuk “memperhatikan diri sendiri” dan orang-orang terdekat, justeru terbengkalai. Memperdulikan diri, keluarga, atau masalah teman, tidak dapat dijustifikasi sebagai sikap egois. Setiap sesuatu sepantasnya diletakkan secara proporsional. Ketiga, pembahasan agama yang meliputi syariat, hakikat, dan makrifat, kurang berjalan seimbang. “Kesalehan sosial” seolah lebih ditekankan ketimbang terbentuknya “kesalehan personal” dalam kekaderan kita. Homoseks adalah satu dari sekian banyak masalah yurisprudensi yang tidak dilibatkan dalam kajian HMI. Apakah ini hanya soal manajemen kegiatan? Kita patut menjawabnya dalam bagian tersendiri.
Untuk kasus Lia Aminuddin, terus terang saya tidak tahu persis bagaimana biografi ke-HMI-an beliau. Barangkali, “kunci jawabannya” terletak pada para pengadernya dan juga rekan-rekan segenerasinya. Namun sedikitnya kita dapat mengetahui bahwa perjalanan spiritual yang beliau temukan paska HMI, adalah variable unik. Lagian, bukankah keberaniannya untuk menembus “dunia lain” merupakan buah perkaderannya ketika ber-HMI?
Selain itu, mungkin terjadi pula pemberontakan Yunda Lia terhadap wacana maupun miliu perkaderan di zamannya. Semacam anti-tesa yang menolak tesa tertentu, seperti yang dilakukan Rio.
Sejauh ini, saya merasa terlalu “berisiko” untuk kuasa menggali apa yang menyebabkan Lia seperti itu. Paling-paling, kita cuma bisa menebak, bahwa keberaniannya tersebut tumbuh, lantaran faktor kebebasan berfikir.
Lain lagi kisah yang dibuat Syahrul Efendi Dasopang, beberapa waktu belakangan ini. Wacana islah “dualitas HMI” yang dibawanya, berkembang menjadi banyak interpretasi. Terjadi salah paham antarpihak di HMI, adalah masalah klasik yang tak pernah diselesaikan. Menyedihkan!
Pemikiran bebas Syahrul, termasuk inisiatifnya untuk ber-islah HMI, sebenarnya dapat saja menjadi produk kreatifitas gagasan yang populis, jika seandainya Syahrul bukan seorang Ketua Umum PB HMI. Jadi, masalahnya hanya satu: seorang “imam” tidak boleh bertindak sembarangan.
* * *
Lalu, apakah stimulus “pemberontakan” Rio, Lia, dan Syahrul adalah sama? Stimulusnya mungkin berbeda, namun “pesannya” bisa dibilang sama.
Rio melawan tradisi. Sebagai teman satu wadah perkaderan--yakni sama-sama di lingkungan HMI Cabang Semarang--saya tahu Rio cukup “benci” dengan pola perkaderan yang ada saat itu. Sebenarnya, banyak kader yang memberontak kala itu (termasuk saya), tetapi arah perlawanannya berbeda-beda.
Maksud saya begini. Secara nasional, ada dua style perkaderan HMI-Cabang: kaku dan liberal. “Hukum alam”nya: kader kaku dan kader liberal dapat hidup rukun di HMI, tapi mereka tak bisa disatukan.
Nah, konon kabarnya, Semarang merupakan salah satu Cabang yang menerapkan style perkaderan secara kaku. Mungkin kekakuan tersebut memiliki makna filsafati sendiri bagi Semarang, namun problemnya; sanggupkah style semacam itu menahan hantaman liberalisasi pemikiran yang berkembang di luar bahkan di internal HMI itu sendiri? Problem ini, tidak sempat terjawab ketika itu.
Rio termasuk kader yang berpikiran liberal. Ia juga seorang mu'alaf, yang ketika remaja baru masuk Islam. Anti-tesa yang dibangun dalam dirinya adalah anti-ketidakbebasan. “Tersesatkah” Rio? Biar waktu yang menghakiminya.
Kita hanya berharap, agar para kader liberalis tidak memberontak dengan ideologi “gue banget”, yang mengkhianati esensi maupun syariat agama. Manusia berhak punya kebebasan, sepanjang Tuhan membebaskannya.
Sementara untuk kasus Lia “Eden” Aminuddin, boleh jadi pengakuan dan mazhab baru yang dibangunnya adalah sebentuk kritik sosial atas kehidupan keagamaan kita selama ini. Mungkin dengan “agama” barunya itu, ia lebih mendapatkan kebebasan sejati, sebagaimana yang dikehendakinya.
Sedangkan untuk kasus Ketua PB kemarin, barangkali stimulus yang muncul, benar seperti yang dinyatakannya dalam milis HMI ataupun Press Conference beberapa saat lalu. Sebagai pimpinan organisasi, Syahrul merasa memiliki otoritas untuk mengadakan perdamaian keumatan (islahuddin), dengan atau tanpa koordinasi intern sekalipun. Kalau otoritas-otoritas semacam itu, tidak diizinkan di HMI, maka akan sangat menyakitkan nasib sosok Ketua Umum di organisasi kita.
Ketika seorang Ketua Umum tidak memperoleh kebebasan apapun, ketika itulah posisinya adalah “korban” dari sekumpulan orang yang mengatur visi sampai keprotokolerannya, dengan dalih sebagai amanat Konggres HMI.
Sekali lagi, ini tidak berarti saya sepenuhnya setuju dengan apa yang telah dilakukan Syahrul. Akan tetapi, gegap-gempita kita soal anti-islah yang berujung menuntut KLB, sepertinya tidak perlu menelan banyak energi.
* * *
Kader Jibril ala Lia Aminuddin, Kader Gay ala Rio, atau Kader Islah ala Syahrul Dasopang, sebetulnya bukanlah fenomena baru di HMI. Saya kira, di luar itu terdapat sosok-sosok kekaderan lain seperti: Kader Playstation, Kader Jenggot, Kader Jablay, Kader Politis, dan sebagainya. Sejogianya kita tak usah terlalu reaktif dan emosional dalam menyikapi itu, seperti Pesan Singkat yang saya baca di hminews.com: “menyiapkan kain kafan dan kuburan” untuk Kader Islah.
Berbagai sosok kekaderan tersebut, sebaiknya dibiarkan tumbuh sesuai kadar yang proporsional; tanpa berlebihan. Sebab bila terlalu berlebihan, itu akan mengganggu kesehatan perkaderan HMI.
Kultur perkaderan berbasis kebebasan berpikir, telah melahirkan banyak insan ulil albab yang menjadi indvidu-individu merdeka, dimana mereka berhasil membuat kreasi sosial dan gagasan majemuk yang memenuhi semesta sejarah.
Mungkin yang butuh dicamkan, bahwa kebebasan berpikir--meskipun berusaha memecah kebekuan beragama--adalah semata-mata ditujukan agar terbangunnya kesadaran serta kearifan integritas kader; bukan untuk pengayaan gerakan liberalis yang bertindak di luar norma dan batasan agama.
Lukman Wibowo--Mantan Sekjen Korp Pengader Nasional;
Kader HMI Cabang Semarang
Dalam artikel ini, penulis juga merasa tak perlu berpanjang-lebar terkait interpretasi ulil albab; selain sebab memang kajiannya melulu bersifat normatif, seharusnya konudrum (teka-teki) pengejawantahannya disesuaikan dengan situasi temporal dan spasial yang tepat. Pasalnya, bukankah zaman senantiasa berubah?
Pesan Liberalistik dalam Kapitalisme Millennium
Millennium adalah sebuah branding yang dipopulerkan tanpa semantik yang filosofis amat. Disini, penulis bersepakat dengan Roland Barthes tentang kritik terjadinya “anarkisme semiotika” dalam kehidupan sehari-hari. Nama perusahaan ABC dan stasiun televisi TPI adalah dua contoh dari “ketakhirauan” terhadap kaidah bahasa. Kenapa? Sebab “ABC” dan “TPI” bukanlah singkatan huruf, juga tidak mempunyai kepanjangan kata. Lain lagi dengan cerita Romo Alloy; beliau pernah terkaget-kaget saat mendengar anak tetangganya yang muslim dinamai Andreas, dan orang nasrani menamai anaknya Taufiqurrahman. Di saat yang sama, kita pun dibuat bingung, manakala semantik “islah” dicampur aduk dengan istilah “rekonsiliasi”.
Dimulainya era millennium-III ditandai oleh tahun berstatus angka 2000. Istilah “millennium” akan lebih mudah ditemukan dalam kamus-kamus teknologi, kendati sesungguhnya, millennium dapat pula dibahas dalam dimensi kebudayaan, maupun dimensi-dimensi yang lain. Sebagai cetusan branding, millennium ibarat “stempel waktu” dari suatu babak sejarah yang mesti dilalui. Kita tentu masih ingat, ketika Uni Soviet runtuh dan Perang Teluk berakhir dengan kemenangan Amerika dan sekutunya, George Bush menyebut era ini dengan slogan “tata dunia baru”.
Masalahnya: sejarah yang sedang berjalan ini “milik” siapa? Atau sedang dikendalikan oleh apa dan siapa?
Baik millennium maupun tata dunia baru (the new rule game) merupakan sebuah cap--dengan alih-alih kemajuan zaman--dari kedok ideologi yang masyur dengan sebutan Kapitalisme Global.
Penting diingatkan kembali, bahwa Kapitalisme sudah tak dapat dimaknai secara sempit lagi; sebatas berlaku dalam analisis perekonomian. Kapitalisme mengalami perluasan hegemoni yang merangsek masuk ke seluruh wilayah, termasuk ke sektor moral kebudayaan dan kedirian manusia modern.
Singkatnya, satu-dua dekade terakhir ini kapitalisme menancapkan pancangnya pada tiga ranah: politik (dengan “menunggangi” demokrasi), ekonomi (gerakan globalisasi melalui Pasar Bebas), dan sosial budaya (pemikiran liberal).
Dalam pada ini, kita tidak menfokuskan pengkajian pada dua hal pertama (demokrasi dan globalisasi), namun lebih mengupas hubungan pemikiran liberal dalam konteks perkaderan HMI.
Kader HMI; dari Jibril menjadi Gay
Baru-baru ini, penulis terkejut mendengar kabar bahwa seorang teman sejawat--sebut saja nama inisialnya Rio, mantan Ketua Umum HMI di satu komisariat, serta telah lulus mengikuti SC (senior course)--kini menjadi seorang gay, bahkan ia sebagai koordinatornya di kota tempat ia tinggal. Saya miris ketika melihatnya tampil di sejumlah stasiun televisi dan media cetak, untuk suatu “pengakuan” yang dianggapnya asasi dan prinsipil.
Berkisar dua tahun sebelum itu, saya juga pernah dibuat tegun oleh berita Lia Eden (Lia Aminuddin) yang mendirikan aliran baru dan mengklaim dirinya sebagai utusan Jibril. Tertegun, lantaran Lia Aminuddin adalah alumni HMI.
Untuk sekadar “mengobati” perasaan dan membangun netralitas pikiran, lalu saya berupaya melihatnya dari dua sisi; positif dan negatif.
Sisi positifnya, kader-kader HMI setidaknya telah melakukan dua hal: pertama, mereka berhasil menjadi pemimpin (leadership), dan kedua, mereka selalu konsisten membela kelompok-kelompok yang terpinggirkan (marginal). Dalam konteks sanggup menjadi pimpinan dan berani membela yang marginal, ada rasa bangga saya kepada mereka. Artinya, khittah kepemimpinan dan pemihak kaum tertindas, mencapai implikasi titik “sempurna” dalam kedirian kader HMI.
Hanya persoalannya kemudian; memimpin apa dan siapa, lalu apa dan siapa yang tertindas?
Berikutnya, persoalan yang paling rumit adalah: konsistensi membela pihak tertindas, sewaktu-waktu bisa berbalik menjadi “inkonsistensi”. Kenapa? Karena kemungkinan terjadinya siklus maupun pergantian posisi antara sang penindas dengan yang tertindas.
Contohnya, ketika Orde Baru menindas kebebasan ideologis atas nama Pancasila. Saat itu, HMI menolak Pancasilaisasi. Tapi sekarang HMI justeru mendukung Pancasila. Sebab apa? Sebab di era kebebasan politik (reformasi) ini, nilai-nilai Pancasila sedang dihantam krisis dan mulai dilupakan orang. Itulah yang dimaksud “konsistensi melahirkan inkonsistensi” membela yang tertindas.
Kembali ke soal Rio dan Lia Aminuddin. Seperti umumnya kader yang dibesarkan di HMI, Rio dan Lia tumbuh dalam suasana perkaderan yang menekankan pada kebebasan berpikir. Saya juga termasuk kader yang sangat setuju dengan style perkaderan berbasis kesadaran rasional; bukan dengan “pemaksaan” harus begini harus begitu. Ekstrimnya, saya memberontak dari dogma yang kaku serta baku di HMI. Pada pilihan sikap, menurut saya, sejogianya memang tidak perlu ada “hukum kemustian”.
Nurcholis Madjid benar, bahwa nilai (values) tak boleh berubah sepanjang massa, tetapi implementasi nilai (action) dapat berubah-ubah sesuai kadar kondisional. Satu perumpamaan teknisnya, saya tidak sependapat bila kader-kader “diharamkan” pacaran, berpolitik praktis, berinisiasi melakukan rekonsiliasi HMI, dan lain sebagainya. Ini bukan berarti saya mendukung mereka yang berpacaran, merekonsiliasi HMI, atau berpolitik-ria, namun memberikan wawasan dan menggiatkan kesadaran integral kader dalam proses perkaderan HMI, adalah jauh lebih penting.
Orang-orang di Yunani Kuno pernah mengingatkan bahwa kearifan hidup merupakan point tertinggi di hadapan semesta. Untuk mencapai level berkearifan (wisdom), ada tiga level sebelumnya yang harus ditempuh yakni; data (mengumpulkan apa yang kita baca dan dengar), informasi fakta (mengumpulkan apa yang kita baca dan lihat), dan level knowledge (mengumpulkan apa yang kita baca secara universal). Jadi, negasi Al-Qur'an tentang “teori Iqro” (membaca seluruh apa yang mampu dijangkau) adalah sejalan dengan rumus membangun kesadaran kaffah manusia (kekaderan).
Terkait dengan pacaran atau berpolitik misalnya, kader selayaknya diarahkan untuk memperoleh data, informasi, dan knowledge yang seluas-luasnya. Sehingga kelak kader-kader HMI mampu mempertimbangkan sendiri manfaat dan mudhorot dari sesuatu hal. Jika kalkulasi sesuatu lebih banyak mudhorotnya, itu patut ditinggalkan, dan sebaliknya, kalau sesuatu tersebut cenderung bermanfaat, itu pantas diambil. Mengarahkan kader untuk dapat mempertimbangkan sendiri sesuatu berdasarkan kesadaran rasional, itu lebih bermartabat ketimbang “pemaksaan”. Inilah yang dimaksud dengan membangun kearifan di HMI.
Lantas, apakah dengan demikian, di HMI tidak perlu ada penanaman doktrin, dogma, dan penerapan hukum kemustian? Jelas perlu ada. Namun jika kerja-kerja indoktrinasi terlalu masuk ke wilayah yang amat praksis dan operasional, itu akan berbahaya bagi berkecambahnya intelektualitas maupun wisdom dalam perkaderan HMI.
* * *
Kesepakatan kita tentang pentingnya suasana berpikir bebas dalam perkaderan HMI, tidak bisa begitu saja dianggap sebagai satu konklusi (kesimpulan) bahwa kita setuju dengan liberalistik di segala hal. Kebebasan berpikir ditujukan untuk dua hal: pertama, memecah kebekuan doktrinal yang masuk ke ranah teknis maupun operasional aktifitas perkaderan, dan kedua, untuk membangun kesadaran bertindak yang positif di dalam diri kader HMI. Jadi, akan menyesatkan andai kultur kebebasan berpikir diarahkan menjadi bentuk liberalisasi dan sikap “gue banget”--sebagaimana yang dikehendaki oleh sistem kapitalisme global.
Rio dan Lia Aminuddin merupakan kasus yang masing-masing berdiri sendiri. Pada eksistensi ruang dan waktu, keduanya tidak saling berhubungan. Tetapi dalam konteks perkaderan kasus tersebut tak bisa dipisahkan kesistemannya.
Sejauh saya mengenal Rio, kemungkinan yang dibangun dalam dirinya adalah anti-tesa terhadap tesa perkaderan dan lingkungannya. Perkara bahwa Rio mengidap “kelainan” seksual, itupun menjadi perkara tersendiri yang belum pernah digubris di HMI. Sifat Rio yang feminine sebagai individu pribadi, dan karakter pemberontak sebagai individu HMI, menemukan momen yang tepat untuk bersikap, di saat maraknya suara “demokrasi kaum gay”.
Menurut hemat saya, setidaknya ada tiga masalah yang lebih dahulu lahir sebelumnya: pertama, indikasi gejala homoseks Rio tidak teridentifikasi pra dan saat aktif di HMI. Mengingat pengakuan Rio di media bahwa dirinya sudah merasa suka pada sesama jenis sejak waktu SMA. Kedua, keterbukaan personal--untuk berbagi cerita, curhat pribadi, maupun berkeluh kesah soal-soal yang sensitif dalam suasana kekeluargaan HMI--nyaris tidak ada. Kader (baik pengurus maupun anggota) HMI terdesak untuk selalu sibuk mengurusi orang lain (baca: ummat). Sehingga kerja-kerja untuk “memperhatikan diri sendiri” dan orang-orang terdekat, justeru terbengkalai. Memperdulikan diri, keluarga, atau masalah teman, tidak dapat dijustifikasi sebagai sikap egois. Setiap sesuatu sepantasnya diletakkan secara proporsional. Ketiga, pembahasan agama yang meliputi syariat, hakikat, dan makrifat, kurang berjalan seimbang. “Kesalehan sosial” seolah lebih ditekankan ketimbang terbentuknya “kesalehan personal” dalam kekaderan kita. Homoseks adalah satu dari sekian banyak masalah yurisprudensi yang tidak dilibatkan dalam kajian HMI. Apakah ini hanya soal manajemen kegiatan? Kita patut menjawabnya dalam bagian tersendiri.
Untuk kasus Lia Aminuddin, terus terang saya tidak tahu persis bagaimana biografi ke-HMI-an beliau. Barangkali, “kunci jawabannya” terletak pada para pengadernya dan juga rekan-rekan segenerasinya. Namun sedikitnya kita dapat mengetahui bahwa perjalanan spiritual yang beliau temukan paska HMI, adalah variable unik. Lagian, bukankah keberaniannya untuk menembus “dunia lain” merupakan buah perkaderannya ketika ber-HMI?
Selain itu, mungkin terjadi pula pemberontakan Yunda Lia terhadap wacana maupun miliu perkaderan di zamannya. Semacam anti-tesa yang menolak tesa tertentu, seperti yang dilakukan Rio.
Sejauh ini, saya merasa terlalu “berisiko” untuk kuasa menggali apa yang menyebabkan Lia seperti itu. Paling-paling, kita cuma bisa menebak, bahwa keberaniannya tersebut tumbuh, lantaran faktor kebebasan berfikir.
Lain lagi kisah yang dibuat Syahrul Efendi Dasopang, beberapa waktu belakangan ini. Wacana islah “dualitas HMI” yang dibawanya, berkembang menjadi banyak interpretasi. Terjadi salah paham antarpihak di HMI, adalah masalah klasik yang tak pernah diselesaikan. Menyedihkan!
Pemikiran bebas Syahrul, termasuk inisiatifnya untuk ber-islah HMI, sebenarnya dapat saja menjadi produk kreatifitas gagasan yang populis, jika seandainya Syahrul bukan seorang Ketua Umum PB HMI. Jadi, masalahnya hanya satu: seorang “imam” tidak boleh bertindak sembarangan.
* * *
Lalu, apakah stimulus “pemberontakan” Rio, Lia, dan Syahrul adalah sama? Stimulusnya mungkin berbeda, namun “pesannya” bisa dibilang sama.
Rio melawan tradisi. Sebagai teman satu wadah perkaderan--yakni sama-sama di lingkungan HMI Cabang Semarang--saya tahu Rio cukup “benci” dengan pola perkaderan yang ada saat itu. Sebenarnya, banyak kader yang memberontak kala itu (termasuk saya), tetapi arah perlawanannya berbeda-beda.
Maksud saya begini. Secara nasional, ada dua style perkaderan HMI-Cabang: kaku dan liberal. “Hukum alam”nya: kader kaku dan kader liberal dapat hidup rukun di HMI, tapi mereka tak bisa disatukan.
Nah, konon kabarnya, Semarang merupakan salah satu Cabang yang menerapkan style perkaderan secara kaku. Mungkin kekakuan tersebut memiliki makna filsafati sendiri bagi Semarang, namun problemnya; sanggupkah style semacam itu menahan hantaman liberalisasi pemikiran yang berkembang di luar bahkan di internal HMI itu sendiri? Problem ini, tidak sempat terjawab ketika itu.
Rio termasuk kader yang berpikiran liberal. Ia juga seorang mu'alaf, yang ketika remaja baru masuk Islam. Anti-tesa yang dibangun dalam dirinya adalah anti-ketidakbebasan. “Tersesatkah” Rio? Biar waktu yang menghakiminya.
Kita hanya berharap, agar para kader liberalis tidak memberontak dengan ideologi “gue banget”, yang mengkhianati esensi maupun syariat agama. Manusia berhak punya kebebasan, sepanjang Tuhan membebaskannya.
Sementara untuk kasus Lia “Eden” Aminuddin, boleh jadi pengakuan dan mazhab baru yang dibangunnya adalah sebentuk kritik sosial atas kehidupan keagamaan kita selama ini. Mungkin dengan “agama” barunya itu, ia lebih mendapatkan kebebasan sejati, sebagaimana yang dikehendakinya.
Sedangkan untuk kasus Ketua PB kemarin, barangkali stimulus yang muncul, benar seperti yang dinyatakannya dalam milis HMI ataupun Press Conference beberapa saat lalu. Sebagai pimpinan organisasi, Syahrul merasa memiliki otoritas untuk mengadakan perdamaian keumatan (islahuddin), dengan atau tanpa koordinasi intern sekalipun. Kalau otoritas-otoritas semacam itu, tidak diizinkan di HMI, maka akan sangat menyakitkan nasib sosok Ketua Umum di organisasi kita.
Ketika seorang Ketua Umum tidak memperoleh kebebasan apapun, ketika itulah posisinya adalah “korban” dari sekumpulan orang yang mengatur visi sampai keprotokolerannya, dengan dalih sebagai amanat Konggres HMI.
Sekali lagi, ini tidak berarti saya sepenuhnya setuju dengan apa yang telah dilakukan Syahrul. Akan tetapi, gegap-gempita kita soal anti-islah yang berujung menuntut KLB, sepertinya tidak perlu menelan banyak energi.
* * *
Kader Jibril ala Lia Aminuddin, Kader Gay ala Rio, atau Kader Islah ala Syahrul Dasopang, sebetulnya bukanlah fenomena baru di HMI. Saya kira, di luar itu terdapat sosok-sosok kekaderan lain seperti: Kader Playstation, Kader Jenggot, Kader Jablay, Kader Politis, dan sebagainya. Sejogianya kita tak usah terlalu reaktif dan emosional dalam menyikapi itu, seperti Pesan Singkat yang saya baca di hminews.com: “menyiapkan kain kafan dan kuburan” untuk Kader Islah.
Berbagai sosok kekaderan tersebut, sebaiknya dibiarkan tumbuh sesuai kadar yang proporsional; tanpa berlebihan. Sebab bila terlalu berlebihan, itu akan mengganggu kesehatan perkaderan HMI.
Kultur perkaderan berbasis kebebasan berpikir, telah melahirkan banyak insan ulil albab yang menjadi indvidu-individu merdeka, dimana mereka berhasil membuat kreasi sosial dan gagasan majemuk yang memenuhi semesta sejarah.
Mungkin yang butuh dicamkan, bahwa kebebasan berpikir--meskipun berusaha memecah kebekuan beragama--adalah semata-mata ditujukan agar terbangunnya kesadaran serta kearifan integritas kader; bukan untuk pengayaan gerakan liberalis yang bertindak di luar norma dan batasan agama.
Lukman Wibowo--Mantan Sekjen Korp Pengader Nasional;
Kader HMI Cabang Semarang

1 komentar:
di awal artikel ini seperti akan berkomitmen dengan gagasan dan nilai liberal, sayangnya di akhir konklusinya meralat uraian panjang lebar ini. tapi ini udah keren, coz jarang banget da faksi di HMI MPO yang mau bela2in ngelihat fenomena liberal di kader2 kita. oke tuh, tinggal ditegasin aja
Posting Komentar